gravatar

Berdirinya GMTPS di Bundar

Meski pun dalam penjelasan UU Nomor 25 Tahun 1956 ada peluang untuk membentuk provinsi Kalimantan Tengah tiga tahun kemudian, rakyat di tiga Kabupaten merasa kurang puas. Rakyat tidak sabar dan tetap mendesak agar pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah segera dilaksanakan. Ketidakpuasan dan ketidak sabaran rakyat yang tergambar dengan timbulnya gerakan-gerakan yang kemudian merupakan perlawanan bersenjata terhadap alat kekuasaan Pemerintah.
Pada tanggal 23 Agustus 1953 ralyat di Kewedanaan Barito Hilir, diprakarsai pemuda Desa Bunnar (Bundar) di wilayah Kecamatan Dusun Utara sekarang, mendirikan sebuah organisasi perjuangan yang diberi nama Gerakan Mandau Talawang Panca Sila (GMTPS) dengan susunan pengurus :
Ketua:
Christian Simbar/Mandulin/Uria Mapas
Wakil Ketua:
Satiman Dusau
Sekretaris:
Buri Ngaji
Wakil Sekretaris:
Mading Liwan
Bendarahara:
Sinin Dinan
Wakil Bendahara:
Komodor Nimban
Pembantu Umum:
Nating Rani, Kudi, dan Debar
Adapun tujuan pokok perjuangan GMTS adalah:
1. memperjuangkan agar memiliki provinsi sendiri terpisah dari Kalimantan Selatan dengan nama Provinsi Kalimantan Tengah.
2. Dengan berstatus Provinsi, GMTPS selanjutnya memperjuangkan peningkatan harkat dan martabat dan kesejahteraan rakyat di Kalimantan Tengah dan
3. Mewaspadai segala bentu kegiatan sementara kalangan yang berniat menghianati Negara Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945 yang bersendikan Pantja Sila.
Berdasarkan tujuan pokok tersebut di atas, GMTPS sebenarnya tidak memiliki program perjuangan dengan cara kekerasan dan kekuatan senjata.
Apabila pada awal berdirinya GMTPS dicurigai oleh aparat keamanan sebagai « gerombolan pengacau keamanan » , tapi sesungguhnya GMTPS setia kepada Negara Kesatuan R.I. seperti yang dinyatakan dalam butir (3) tujuan pokok perjuangan GMTPS di atas. Fakta juga membuktikan bahwa :
Bersamaan waktu dengan gencarnya tuntutan ùeùbejtuk Provinsi Kalimantan Tengah, hadir pula gerakan yang menamakan diri KJRT(Kesatuan Rakjat Jang Tertindas) pimpinan Ibnu Hdjar, yaitu faksi bagian dari gerombolan DI/TIII yang bergerak di Kalimantan Selatan termasuk daerah Kalimantan Tengah sekarang). Apabila gerombolan KRJT melakukan aksinya di desa-desa , dan diketahui bertemu dengan gerombolan GMTPS , pasti terjadi kontrak senjata di antara kedua kubu. Tindakan GMTPS itu menunjukkan bahwa mereka ikut membantu pihak keamanan dalam menanggulangi kekacauan daerah yang ditimbulkan gerombolan KRJT itu.
Praduga ketermibatan GMTPS menggunakan kekerasan bersenjata berawal dari peristiwa terbunuhnya Taoke kapal “Gin Wan II” mili Warga Negara Keturunan Cina di Desa Kalahien (kurang lebih 14 kilometer dari kota Buntok) pada akhir bulan September 1953. Pihak Kepolisian Buntok menuduh GMTPS terlibat dalam tindakan kekerasan tersebut. Atas dasar tuduhan itu pada bulan Oktober 1953 Kepolisian melakukan penyerangan dan penangkapan terhadap anggota GMTPS. Pihak GMTPS tidak dapat menerima serangan polisi itu karena tidak didasarkan atas informasi dan penyelidikan yang teliti. Sehingga pada tanggal 21 Oktober 1953 dipimpin langsung oleh ketuanya Ch. Simbar dan didukung oleh penduduk di desa-desa sekitarnya, GMTPS melakukan serangan balasan terhadap markas Krpolisian Buntok.
Setelah diproses secara hukum, dan atas atas bantuan beberapa tokoh masyarakat Kalimantan Tengah yang ada di Banjarmasin, akhirnya hanya empat orang pengurus GMTPS yang ditahan di Banjarmasin yaitu Ch. Simbar, Satiman Dusau, Sinin Dinan dan Boeboe Simbar
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Dengan demikian sesungguhnya GMTPS terpaksa melakukan perlawanan bersenjata dan menjadi “kelompok penekan”, dalam ikut menentukan berhasilnya perjuangan rakyat Kabupaten Barito, Kapuas, dan Kotawaringin membentuk Provinsi Otonom Kalimantan Tengah (Prof. Dr. Ahim S. Rusan, et.al, 2006:121-124).
Bahwa dalam pergulatan politik, pemaduan antara perjuangan bersenjata dan perjuangan politik sudah merupakan hal yang jamak. Perjuangan bersenjata merupakan kelanjutan dan puncak perjuangan politik. Demikian pula, sudah lumrah dan dikenal umum bahwa untuk keperluan logistiknya, pasukan-pasukan geriliya melakukan “perampokan”, tapi “perampokan” yang terukur. Sebab jika tak terkendalikan, pasukan akan berobah menjadi pasukan bandit. Menjelma menjadi barusan kriminal. Siapa yang “dirampok” pun dilakukan dengan penuh pertimbangan, bukan asal-asalan. Niscayanya, jika mau berimbang dalam informasi, dokumen-dokumen pihak kepolisian dan pemerintah perlu juga ditelaah – hal yang absen dari daftar pustaka acuan “Sejarah Kalimantan Tengah”.
Kalimat-kalimat Prof. Dr. Ahim S. Rusan et. al. di atas ada mengesankan suatu kehati-hatian besar, terutama mungkin oleh pertimbangan-pertimbangan politis, terutama masalah persatuan antar Dayak, sehingga “Sejarah Kalimantan Tengah” terhadap masalah GMTPS seperti kalimat-kalimat kompromis. Ataukah kompromi begini dimaknakan sebagai melihat permasalahan secara imbang dan adik? Tapi dari sejarah yang kompromis tidak bisa diharapkan untuk mendapatkan kejelasan obyektif. Sejarah yang kompromis dibimbing oleh ide penyatuan, suatu tujuan politik. Kebenaran berada di tingkat kedua atau ketiga. Dusta, pemelintiran, kompromi agaknya penyakit akut dalam penulisan sejarah. ***

Pengikut