gravatar

GMTPS 1

Jurnal Toddopuli
(Cerita Untuk Andriani S. Kusni & Anak-Anakku)
“Berdustalah terus-menerus dan sampai akhir, maka dustamu akan dipandang sebagai kebenaran ”, demikian doktrin Goebel Menteri Penerangan rezim Hitler di bidang informasi pada masa Perang Dunia II. Dusta sebagai doktrin begini pun telah diikuti oleh banyak negeri di dunia dalam melancarkan perang urat-syarat atau psy-war.Sampai seorang perwira tinggi tentara Kerajaan Inggris yang beertugas pada Departemen Psy-War semasa Perang Dunia II, dalam buku kenang-kenangannya (Memoire) menyebut diri sebagai “pahlawan dusta”. Sementara itu L’Histoire, sebuah majalah bulanan Perancis, Paris, yang mengkhususkan diri dalam bidang sejarah, pernah menerbitkan sebuah nomor khusus bertemakan “Dusta Dalam Sejarah Dunia” .Adanya dusta dalam sejarah, dilakukan berkaitan erat dengan kepentingan dan tujuan-tujuan politik sejarah. Karena itu sering kita dengar ucapan bahwa “sejarah adalah sejarah pihak yang berkuasa”. Sejarah yang ditulis dan diajarkan di sekolah-sekolah sering merupakan sejarah pihak yang berkuasa yang tidak segan melakukan dusta. Karena itu Prof. Dr. Arkoun dari Universitas Sorbonne Paris membedakan adanya dua jenis penulisan sejarah, yaitu sejarah ilmiah dan sejarah politik. Sejarah politik adalah sejarah yang penuh dengan warna kepentingan dan tujuan politik. CIA, dinas rahasia Amerika Serikat yang notorius itu, menurut Letkol Penerbang Heru Atmodjo, mantan Kepala Dinas Intelijens AURI zaman Pemerintahan Soekarno, yang pernah belajar pada CIA, dalam salah sebuah ceramahnya di Paris, mengatakan bahwa CIA menggunakan metode Goebel juga dalam informasi dan menanggapi isu-isu. Masalah pencukilan mata dan tindakan-tindakan pengirisan bagian-bagian tubuh tertentu para jendral oleh Gerwani dan yang terbunuh pada awal terjadinya Tragedi Kemanusiaan September 1965 adalah salah satu bentuk dusta dalam sejarah Indonesia. Oleh penuhnya sejarah Indonesia dengan dusta maka sementara sejarawan menyerukan perlunya upaya dan berupaya “meluruskan sejarah”. Dusta dalam sejarah negeri kita, paling tidak telah menduduki tempat utama semasa Orde Baru. Dusta dalam sejarah menjadi alat politik dari pihak yang sedang berluasa guna mempertahankan kekuasaannya. Dari keadaan demikian, nampak bahwa sejarah merupakan medan tarung berbagai kepentingan politik sehingga sejarah yang dominan lebih banyak menampakkan diri sebagai sejarah kepentingan politik. Para pahlawan dalam sejarah kepentingan politik demikian sering dibunuh berkali-kali. Jika demikian mungkinkah ilmu sosial, termasuk ilmu sejarah, benar-benar obyektif? Pertanyaan ini oleh Jan Myrdal sosiolog dari Swedia bahwa obyektivitas ilmu social mempunyai batasnya.
Soal dusta dalam sejarah ini juga sempat menjadi salah satu tema pembicaraan saya ketika pada suatu malam berkunjung ke rumah Pak Sabran Ahmad — salah seorang tokoh yang sejak awal turut berjuang mendirikan Kalimantan Tengah sebagai provinsi tersendiri lepas dari Kalimantan Selatan.
“Pada beberapa tulisan, wawancara, konfrensi-konfrensi dan kongres yang diselenggarakan oleh komunitas Dayak di Kalimantan Tengah, sejak tahun 1990an, saya sering membaca dan mendengar tentang peran penting Gerakan Mandau Talawang Panca Sila (GMTPS) dalam pembentukan provinsi Kalimantan Tengah. GMTPS melancarkan pemberontakan bersenjata untuk mewujudkan keinginan tersebut. Sebagai salah seorang tokoh dari angkatan tua yang mengikuti sejak awal perkembangan dan turut berjuang supaya Kalimantan Tengah sebagai provinsi tersendiri, saya ingin mengetahui duduk perkara sebenarnya. Apakah benar Provinsi Kalimantan Tengah berdiri karena pemberontakan GMPTS?”. Demikian saya bertanya kepada Pak Sabran Achmad yang rambutnya sudah putih semua, tapi dalam usia senja demikian, beliau selalu nampak hadir dalam kegiatan-kegiatan penting di Palangka Raya.
“Saya memastikan bahwa pandangan demikian tidak lain dari pernyataan dusta yang dipolitisir. Demi kepentingan politik pihak tertentu.Tuntutan Kalimantan Tengah provinsi tersendiri sebenarnya sudah disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri, jauh sebelum adanya GMTPS)”, tegas Pak Sabran Achmad. “GMPTS mempunyai kaitan dengan Kesatuan Rakjat Jang Tertindas yang dipimpin Ibnu Hajar setelah terjadi yang berpusat di Kalimantan Selatan. Kesatuan Rakjat Jang Tertindas ini lahir menyusul “rasionalisasi dalam tubuh TNI”, sebuah politik dari pemerintah pusat untuk membuat TNI lebih profesional. Karena tidak puas dengan politik rasionalisasi ini, maka Ibnu Hajar dengan Kesatuan Rakjat Jang Tertindas-nya melancarkan kerusuhan-kerusuhan. Oleh TNI, Kesatuan Rakjat Jang terindas dipandang sebagai “gerombolan pengacau”. “Nama lain dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII/NII) yang dpimpin oleh Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar, sedangkan di Kalimantan dipimpin oleh Ibnu Hajar. Gembolan Kesatuan Rakjat Jang Tertindas ini berkeliaran juga di daerah Hulu Sungai, mau pun pedalaman kabupaten Kapuas, Barito, dan Kotawaringin, dipimpin oleh Adjai dan Sapari ( Prof.Dr. Ahim S. Rusan, et al, 2006:114).
Di dalamnya terdapat orang-orang yang kemudian membentuk dan bergabung dengan GMTPS. Kongres Rakyat Kalimantan Tengah Pertama mengusulkan amnesti terhadap mereka yang dari Kalimantan Tengah dan tergabung dalam Kesatuan Rakjat Jang Tertindas. Setelah amnesti ini dibelakukan maka jumlah pengikut GMTPS di Kalimantan Tengah menjadi bertambah besar. Sayangnya mereka banyak melakukan tindak-tindak kriminal sehingga diburu dan dikejar oleh TNI. Demikian Pak Sabran Achmad yang selanjutnya mengatakan bahwa dibesar-besarkannya peran GMTPS disertai oleh latar politik. Kepentingan politik jugalah yang sering memutarbalik sejarah.
Untuk memastikan keterangan maka saya kembali menanyai Pak Sabran Achmad: “Jadi tidak benar bahwa terbentuknya provinsi Kalimantan Tengah dicapai melalui perjuangan bersenjata?”. “Sama sekali tidak. Pemerintah pusat di Jakarta melalui Kementerian Dalam Negeri sudah menyetujui pembentukannya. Tinggal melaksanakan keputusan tersebut. Pembentukan provinsi Kalimantan Tengah adalah hasil perjuangan damai. Saya turut dalam upaya ini sejak awal”.
Tentang hal ini “Sejarah Kalimantan Tengah yang disusun oleh Prof. Dr. Ahim S. Rusan et.al. menulis:
“Ketik Menteri Dalam Negeri Prof. Dr.Mr. Hazairin , berkunjung ke Banjarmasin pada tanggal 25 Juni 1954, Panitia Penyalur Hasrat Rakyat Kalimantan Tengah (PPHRKT) dengan juru biara J.M.Nahan menyampaikan pernyataan kepada Mendagri, yang intinya:
1. menyambut dengan tangan terbuka pengangkatan Raden Tumenggung Arjo Milono (RTAMilono) sebagai Gubernur Kalimantan yang baru oleh Pemerintah Pusat;
2. menegaskan baha resolusi, mosi dan pendapat-pendapat rakyat yang disampaikan kepada Pemerintah Pusat melalui PPHRKT tentang terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah yang berotonom penuh agar segera direalisasikan, demi perubahan dan jaminan perbaikan nasib mereka. Pernyataan yang sama menyusul datang dari PPHRKT Sampit – Kabupaten Kotawaringin yang ditandatangani oleh Paul Alang, Tiel Jelau dan Eddy Yacob. (Prof. Dr. Ahim S.Rusan et.al. 2006:119)
Sedangkan Gerakan Mandau Talawang Panca Sila baru didirikan pada 23 Agustus 1953. Sementara Sarikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) yang mempunyai basis massa kuat, berdiri pada 20 Juli 1950 dan dalam Kongres Bahu Palawa (15-22 Juli 1953, menuntut terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah. Ikatan Keluarga Dayak (IKAD) pada tahun 1951 tanpa ragu menyokong tuntutan SKDI. IKAD pada tahun 1954 memprakarsai pembentukan Panitia Penyalur Hasrat Rakyat Kalimantan Tengah (PPHRKT).
Dari catatan-catatan di atas nampak bahwa hasrat untuk mendirikan provinsi Kalimantan Tengah, jauh sudah ada sebelum GMTPS didirikan 23 Agustus 1953 di desa Bunnar (Bundar), Kecamatan Dusun Utara.
“Apa tujuan penonjolan peran GMTPS seakan sangat menentukan?”
“Masalahnya sederhana, yaitu agar orang-orang GMTPS diakui sebagai barisan para pejuang dan mereka bisa menuntut dana dan posisi dari pemerintah sebagai para pejuang. Yang lebih menarik, agar bisa diakui sebagai pimpinan GMTPS ada orang yang mengobah tanggal lahirnya sehingga lebih tua dari abang kandungnya sendiri, yang memang berjasa untuk Kalimantan Tengah. Waktu perjuangan membentuk Kalimantan Tengah orang ini masih berada di SMP”.
“Soal lain, dari seorang teman asal Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito, saya mendapat keterangan bahwa di Barito santer terdengar cerita bahwa ada sebuah tempat di mana Simbar (dari Barito), salah seorang pimpinan GMTPS, melakukan duel dengan Tjilik Riwut (dari Katingan). Apakah cerita ini mempunyai dasar kebenaran?” .
“Cerita demikian tidak lain dari isapan jempot belaka”, jawab Sabran Achmad singkat.
Saya mengkhawatirkan kesemerawutan yang disebut sejarah begini bisa dijadikan benih yang sengaja ditabur untuk kepentingan politik tertentu untuk mengadu orang dari DAS satu dengan DAS lainnya, sesuatu yang sudah sangat kadaluwarsa. Hanya saja yang kadaluwarsa pun untuk kepentingan politik bisa dibongkar dan dibangkitkan kembali. Barangkali petaka beginilah yang bisa ditimbulkan oleh dusta dalam sejarah. Dusta dan rumor sama berperannya dan sering digunakan dalam politik lalu menabur pertikaian.
Sebagai acuan, dalam simpang-siur pandangan tentang GMTPS ini berikut saya kutip apa yang ditulisan oleh Prof. Dr. Ahim S. Rusan et al dalam “Sejarah Kalimantan Tengah”. Kutipan panjang ini bermaksud berupaya mendeteksi apa GMTPS itu sebenarnya – yang isunya masih mencuat sampai sekarang. Barangkali penelitian netral dan berjarak tentang GMTPS masih diperlukan agar bisa lepas dari lingkaran kesemerawutan sejarah di Kalimantan Tengah.

Pengikut